Kasus ‘Kerangkeng Manusia’ di Langkat Digelar Besok, LPSK Minta Restitusi Tuntut 14 Tahun Penjara Terhadap Mantan Bupati
KHATULISTIWA | Jakarta
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo berharap sidang putusan mantan Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin memberikan rasa keadilan. Sidang kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ini digelar di Pengadilan Negeri Stabat, Sumut, Senin (8/7) besok.
“Harapannya, pada kasus kerangkeng manusia yang menjadi perhatian publik ini para korbannya mendapat keadilan,” ujar Antonius dalam keterangan pers, Minggu (7/7).
Antonius juga berharap hakim mewajibkan Terbit membayar ganti rugi atau restitusi kepada korban. LPSK, ia menambahkan, telah menyerahkan penilaian jumlah restitusi ini kepada Jaksa Penuntut Umum. “Sebesar kurang lebih Rp 2,3 miliar untuk korban atau ahli warisnya dan hukuman selama 14 tahun penjara,” katanya.
LPSK, ia menambahkan, mengapresiasi implementasi UU TPPO oleh penyidik atas arahan JPU. Dalam perkara ini penyidik telah menyita pabrik kelapa sawit milik Terbit sebagai jaminan pembayaran restitusi kepada para korban.
Ekshumasi Empat Kubur Korban Kerangkeng Manusia di Lahat, Polisi: Tewas Karena Disiksa
Berdasarkan data LPSK, penyitaan aset sebagai jaminan ini merupakan praktik yang pertama kali dilakukan terhadap terdakwa perkara TPPO.
Antonius menjelaskan LPSK memberi atensi maksimal dan proaktif mengungkapkan perkara.
“LPSK memberikan perlindungan pada korban, saksi, dan keluarga korban dengan program perlindungan fisik, pemenuhan hak prosedural, fasilitasi restitusi dan rehabilitasi psikososial,” ujarnya.
Jaksa menuntut Terbit dengan hukuman 14 tahun penjara dan denda Rp 500 juta serta membayar biaya restitusi Rp 2,3 miliar kepada 11 korban atau ahli waris mereka paling lama 14 hari setelah putusan pengadilan.
Keluarga Korban Kerangkeng Manusia Langkat Lapor ke Bareskrim
Kasus ini mengenai penyekapan terhadap sekitar 40 orang, ada yang menyebut lebih dari seratus. Semula kerangkeng atau sel menyerupai kandang binatang di belakang rumah Terbit itu merupakan tempat rehabilitasi partikelir korban narkoba, tapi tak berizin. Dalam praktiknya kemudian mereka dipekerjakan paksa di perkebunan sawit tanpa dibayar, beberapa orang diantaranya mengalami penyiksaan.
Kerangkeng manusia ini terungkap ketika KPK melakukan OTT terhadap Terbit pada 18 Januari 2022. Kasusnya adalah suap proyek-proyek infrastruktur di Pemkab Lahat. KPK kemudian menyerahkan perkara perdagangan orang ini ke polisi.
Dalam perkara suap, Mahkamah Agung menolak kasasi Terbit dan tetap menghukumnya dengan 7,5 tahun penjara pada Agustus 2023.
Untuk kasus ‘kerangkeng manusia’, Jaksa menuntut Terbit dengan Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO. (del)