Pariwisata Indonesia 2025: Penguatan Kearifan Lokal dalam Industri Pariwisata
Jakarta — Dalam rangka memperkuat peran kearifan lokal sebagai pilar utama dalam pembangunan industri pariwisata Indonesia, Universitas Paramadina bekerjasama dengan Kementerian Pariwisata Republik Indonesia dan Paramadina Public Policy Institut menyelenggarakan webinar bertajuk “Harapan dari Pariwisata Indonesia di 2025: Penguatan Kearifan Lokal dalam Industri Pariwisata” pada Sabtu (24/5/2025).
Acara ini dibuka oleh Dr. Handi Risza Idris, Wakil Rektor Bidang Pengelolaan Sumber Daya Universitas Paramadina, yang menegaskan pentingnya sinergi antara institusi pendidikan dan kementerian dalam merumuskan masa depan pariwisata nasional. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan bahwa kolaborasi semacam ini sangat penting untuk dikembangkan lebih lanjut agar mampu menghasilkan gagasan dan langkah-langkah strategis yang lebih produktif. “Pariwisata bukan hanya menjadi domain pemerintah atau pelaku industri saja, tetapi juga menjadi domain seluruh masyarakat Indonesia” ujar Handi Risza.
Ia menekankan bahwa Indonesia memiliki keragaman destinasi wisata yang luar biasa dari wisata hutan, laut, budaya, kuliner, sejarah, religi, bahari, edukasi, olahraga, hingga agrowisata yang menjadi kekayaan dan potensi besar untuk dikembangkan secara berkelanjutan.
Namun, ia juga mencatat bahwa potensi besar ini belum dimanfaatkan secara optimal, terbukti dari jumlah kunjungan wisatawan mancanegara yang masih berada di urutan keempat di kawasan Asia Tenggara. “Ini menjadi refleksi bagi kita semua untuk mendorong promosi dan penguatan kualitas pariwisata yang lebih inklusif dan berdaya saing” tambahnya.
Salah satu sektor potensial yang disorot dalam webinar ini adalah wisata halal. Menurut Handi Risza, wisata halal merupakan bentuk pariwisata yang ramah bagi umat Muslim dan menjadi peluang besar bagi Indonesia. “Kita memiliki potensi yang luar biasa. Diperkirakan akan ada sekitar 200 juta wisatawan Muslim yang akan melakukan perjalanan di tahun 2025 hingga 2026. Indonesia harus siap menjadi destinasi utama yang menyambut mereka,” tegasnya.
Dalam paparannya sebagai Keynote Speaker, Hanifah Makarim, Hanifah Makarim, Asisten Deputi Pengembangan Usaha dan Akses Permodalan Kementerian Pariwisata Republik Indonesia menyampaikan bahwa sektor pariwisata Indonesia mulai menunjukkan tren pemulihan pascapandemi. Setelah mengalami penurunan tajam pada tahun 2020, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara perlahan meningkat kembali sejak 2022. Ia menyoroti bahwa rata-rata pengeluaran wisatawan yang berkunjung ke Indonesia mencapai 1.391,85 dolar AS, dengan pengeluaran terbesar tercatat pada sektor akomodasi, disusul oleh konsumsi makanan dan minuman, serta pembelian cenderamata. Sayangnya, kualitas cenderamata yang beredar di pasar domestik dinilai masih kurang memadai, dan perlu ditingkatkan agar mampu mencerminkan kekayaan budaya sekaligus meningkatkan nilai tambah ekonomi.
Lebih lanjut, Hanifah menegaskan bahwa kontribusi pariwisata terhadap perekonomian nasional sangat signifikan, bahkan berada di posisi kedua sebagai penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini menunjukkan bahwa pariwisata bukan hanya sektor pendukung, melainkan salah satu motor penggerak utama ekonomi Indonesia. Dari sisi investasi, tercatat bahwa selama periode 2018 hingga 2024, sektor pariwisata berhasil menarik investasi sebesar 16,1 miliar dolar AS, dengan komposisi 66,3 persen berasal dari investor domestik dan 33,7 persen dari investor asing.
Dalam konteks ini, Kementerian Pariwisata tengah berupaya memperluas cakupan investasi, termasuk mengundang investor untuk mengembangkan sektor wisata kesehatan (health tourism), yang potensial menjadi daya tarik baru bagi wisatawan internasional. “Potensi wisata medis dan kebugaran sangat besar, dan kami ingin menjadikan Indonesia sebagai destinasi utama bagi wisatawan yang mencari layanan kesehatan berkualitas” ujar Hanifah.
Namun demikian, Hanifah juga mengakui bahwa masih terdapat sejumlah tantangan yang perlu diatasi dalam pengembangan investasi pariwisata lokal. Hambatan tersebut meliputi ketidakpastian regulasi, kondisi infrastruktur dan aksesibilitas yang belum merata, kualitas sumber daya manusia yang masih perlu ditingkatkan, serta belum optimalnya strategi promosi dan pemasaran. Selain itu, isu diversifikasi produk wisata dan pelestarian lingkungan juga menjadi perhatian utama dalam pembangunan pariwisata yang berkelanjutan.
Untuk menjawab berbagai tantangan tersebut, Kementerian Pariwisata telah meluncurkan sejumlah program strategis, antara lain Gerakan Wisata Bersih yang bertujuan menjaga kebersihan dan kenyamanan destinasi wisata, serta inisiatif Tourism 5.0 yang mengedepankan digitalisasi dan teknologi untuk meningkatkan efektivitas promosi dan pelayanan. Selain itu, program Pariwisata Naik Kelas ditujukan untuk memperkuat citra Indonesia sebagai destinasi unggulan yang mampu menarik wisatawan berdaya beli tinggi. Pemerintah juga menargetkan Indonesia sebagai pusat penyelenggaraan event pariwisata internasional, serta memperluas jumlah desa wisata yang berdaya saing di tingkat global.
Prof. Iin Mayasari, Guru Besar Universitas Paramadina, menegaskan bahwa sektor pariwisata Indonesia memiliki peluang besar untuk mendorong peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) dan ekspor negara. “Pariwisata tidak hanya meningkatkan pemasukan negara melalui ekspor jasa, tetapi juga memberikan dampak nyata pada penyerapan tenaga kerja. Pada 2024, sektor ini mampu menyerap sekitar 25,1 juta tenaga kerja dengan jumlah kunjungan wisatawan hampir mencapai 13,34 juta” ujarnya.
Indonesia saat ini menduduki peringkat ke-22 dalam daya tarik wisata global, dengan jumlah perjalanan wisatawan mancanegara pada tahun 2024 mencapai titik tertinggi sejak 2019. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka kunjungan wisatawan nusantara dalam negeri mencapai 1,2 miliar perjalanan, tertinggi dalam lima tahun terakhir. “Perubahan signifikan terlihat pada pergeseran tujuan wisatawan nusantara yang kini lebih memilih destinasi selain Bali, menandakan diversifikasi tujuan wisata yang berkembang” tambah Iin.
Lebih lanjut, Iin menekankan pentingnya keberlanjutan dalam pariwisata. Wisatawan kini semakin sadar akan nilai keasrian budaya dan isu lingkungan, yang menciptakan nilai tambah pengalaman berwisata. Selain itu, pariwisata kesehatan dan kebugaran mulai menjadi segmen unggulan, disusul dengan tren wisata petualangan dan aktivitas outdoor seperti pengamatan langit dan perjalanan mengikuti artis favorit. Fenomena ‘JOMO’ (Joy of Missing Out) pun mulai muncul sebagai tren wisata yang mengedepankan pengalaman santai dan eksklusif.
Rencana strategis nasional pariwisata yang diselaraskan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) berfokus pada peningkatan kontribusi ekonomi melalui penguatan kearifan lokal. Program-program unggulan mencakup pengembangan desa wisata berbasis masyarakat (Community-Based Tourism/CBT), penguatan peran kelompok sadar wisata (Pokdarwis), promosi kuliner lokal, dan dukungan festival budaya. Semua ini diatur dalam kerangka regulasi yang termaktub dalam UU No.10 Tahun 2009, yang menegaskan pariwisata sebagai sarana untuk kesejahteraan masyarakat.
Namun, tantangan juga tidak kalah besar. Kurangnya kesadaran masyarakat, akses pasar yang terbatas, rantai pasok yang lemah, hilangnya keaslian produk, persaingan produk massal, overtourism, keterbatasan infrastruktur, dan disparitas ekonomi menjadi hambatan utama yang perlu diatasi agar pariwisata berkelanjutan dapat tumbuh optimal.
Dalam perspektif ekonomi makro, Adrian A. Wijanarko, Direktur Riset Paramadina Public Policy Institute menyampaikan proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,3% pada 2025. Namun, Bank Indonesia merevisi angka tersebut menjadi 2,9% akibat ketegangan perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Meski demikian, perilaku pengeluaran masyarakat terhadap sektor perjalanan masih cukup stabil, yaitu sekitar 10% dari pendapatan.
Adrian menyarankan pemerintah untuk menerapkan strategi segenting, positioning, dan targeting yang tepat. “Jika daya beli masyarakat domestik menurun dan mengurangi perjalanan, fokus dapat dialihkan untuk menarik wisatawan internasional, terutama dengan memanfaatkan penguatan nilai tukar asing terhadap rupiah” katanya.
Pelemahan rupiah akan meningkatkan daya beli wisatawan asing, sehingga biaya wisata di Indonesia menjadi lebih kompetitif. Namun, ia mengingatkan risiko penurunan kunjungan wisatawan jika negara asal wisatawan mengalami resesi ekonomi.