PORTAL KHATULISTIWA

MENCERAHKAN

Praktik Jual-Beli BBM Subsidi Terungkap, Syafruddin Minta Cabut Izin Perusahaan yang Langgar Aturan

admin Redaktur Khatulistiwa Penulis
Anggota DPR RI Komisi XII Dapil Kalimantan Timur (Kaltim), Syafruddin (Foto: Istimewa).

PORTALKHATULISTIWA.COM, Samarinda – Anggota DPR RI Komisi XII Dapil Kalimantan Timur (Kaltim), Syafruddin, mendesak Presiden RI, Prabowo Subianto untuk memberikan sanksi tegas terhadap 13 perusahaan yang terlibat dalam praktik jual-beli BBM bersubsidi. Desakan itu juga dilayangkan kepada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.

Syafruddin yang juga merupakan anggota Fraksi PKB, meminta agar segera dilakukan pencabutan izin. Tekanan ini disampaikannya dengan pengungkapan kasus yang ditangani Kejaksaan.

Menurut Syafruddin, praktik yang melibatkan perusahaan-perusahaan tersebut dinilai telah merampas hak rakyat. Tindakan seperti itu tak dapat dibiarkan.

“Solar yang diperjualbelikan itu adalah BBM bersubsidi. Maka, mereka telah mengambil alih, atau dalam bahasanya, merampok hak rakyat,” tegasnya, Saat dimintai keterangan di acara Ngopi MINGGU & DISKUSI di Bagios caffe, Minggu, (12/10/2025).

Ia menegaskan sanksi yang diberikan tidak boleh hanya bersifat administratif. Syafruddin juga meminta untuk dilakukan evaluasi terhadap sejumlah perusahaan yang diduga terlibat.

“Kita minta dengan tegas Pak Presiden Prabowo Subianto, memberi sanksi yang setegas-tegasnya. Bila perlu, evaluasi izinnya dan kalau terbukti, cabut izin mereka,” ujarnya.

Dia menyebutkan beberapa nama perusahaan yang tercatat di media, seperti PT. Ganda Alam Makmur, PT. Berau Coal, PT. ITM, dan PT. BUMA. Syafruddin mengaku awalnya tidak menyangka banyak perusahaan di sektor pertambangan juga terlibat dalam permainan yang selama ini diduga hanya melibatkan mafia migas.

“Awalnya kita fokus pada permainan mafia migas yang dimotori Rizal dan kawan-kawan. Rupunya, ada pihak perusahaan swasta yang bergerak di sektor pertambangan juga terlibat. Kita semua kaget. Ini menjawab keluhan masyarakat selama ini tentang kelangkaan dan kualitas BBM,” paparnya.

Selain kasus praktik jual beli BBM, Syafruddin juga menyoroti persoalan pengawasan tambang dan dana reklamasi. Ia mengkritik efektivitas Inspektur Tambang yang dinilainya tidak mampu menjalankan fungsi pengawasan dan kontrol lapangan dengan optimal.

Dia menilai kendala utama yang disebutkan adalah terbatasnya personel, kendaraan, dan anggaran operasional. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), ia meminta agar fungsi pengawasan dialihkan ke daerah dan jumlah personel Inspektur Tambang ditambah.

“Bayangkan, mereka mengeluh fasilitasnya terbatas, uang operasional terbatas, sedangkan untuk keliling mengawasi tambang butuh personel yang memadai,” jelas Ketua DPW PKB Kaltim itu.

Menururnya, hal ini mendesak mengingat terdapat 60 perusahaan tambang berizin (legal) di Kaltim yang lalai membayar Dana Jaminan Reklamasi (Jamrek). Syafruddin memberi waktu dalam waktu 60 hari perusahaan tersebut untuk segera menyelesaikan tunggakan Jamrek.

Jika tidak, dirinya menetapkan bahwa DPR akan mendorong Kementerian ESDM untuk mencabut izin mereka.

“Ini terkait keberlangsungan reklamasi. Bagaimana mungkin negara memberi izin beroperasi, tetapi mereka tidak menyetor jaminan reklamasinya?” tandasnya.

Pada kesempatan serupa, Syafruddin juga menanggapi dua isu lainnya. Pertama, sebagai anggota Badan Anggaran, ia akan menyuarakan keadilan dalam pembagian Dana Bagi Hasil (DBH), karena dirasakan tidak adil bagi Kaltim jika dibandingkan dengan daerah lain seperti Aceh.

Kedua, mengenai kasus penggarapan Hutan Pendidikan Universitas Mulawarman (Unmul), Syafruddin mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menindak tegas pelaku, baik perorangan maupun korporasi, yang terbukti merusak kawasan tersebut.

“Jika kasusnya berakhir tidak jelas, saya akan memanggil Dinas Lingkungan Hidup untuk turun ke lapangan dan berkoordinasi dengan APH. Pelaku bisa dijerat dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman pidana 3 hingga 10 tahun penjara,” tutupnya

Sebagai informasi, Jaksa mengungkapkan, terdapat 13 perusahaan besar yang diuntungkan dari praktik penjualan solar di bawah harga dasar ini. Yakni, PT Berau Coal mngeruk untung Rp449,10 miliar, PT Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA) Rp264,14 miliar, PT Merah Putih Petroleum Rp256,23 miliar, PT Adaro Indonesia Rp168,51 miliar, dan PT Pamapersada Nusantara Rp958,38 miliar.

Selanjutnya, PT Vale Indonesia Tbk menikmati cuan Rp62,14 miliar, PT Ganda Alam Makmur Rp127,99 miliar, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk Rp42,51 miliar, serta PT Aneka Tambang (Persero/ANTM) Tbk Rp16,79 miliar.

Masih adalagi, Grup PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) melalui lima anak usahanya, yaitu PT Tambang Raya Usaha Tama, PT Bharinto Ekatama, PT Sinar Nirwana Sari, PT Trubaindo Coal Mining, dan PT Tunas Jaya Perkasa, mereguk cuan Rp85,80 miliar.

Sementara, PT Puranusa Eka Persada melalui anak usahanya PT Arara Abadi, untung Rp32,11 miliar. Hasil audit internal dan pemeriksaan jaksa menunjukkan, total keuntungan tidak sah yang diterima perusahaan tersebut, mencapai Rp2.544.277.386.935 atau sekitar Rp2,54 triliun.

“Jumlah Rp2.544.277.386.935,” ungkap Jaksa. (*Rn).