PORTAL KHATULISTIWA

MENCERAHKAN

Ratusan Demonstran Ditangkap, Serikat Pekerja Kampus Layangkan Surat Keberatan ke Kapolri

Ketua Umum Serikat Pekerja Kampus, Dhia Al Uyun, mengungkapkan dalam laporan Narasi, setidaknya 959 orang dari beberapa wilayah di Indonesia telah ditetapkan sebagai tersangka terkait demonstrasi.
admin Redaktur Khatulistiwa Penulis
Ilustrasi (Foto: Rn).

PORTALKHATULISTIWA.COM, JakartaSerikat  Pekerja Kampus (SPK) layangkan surat keberatan terhadap penangkapan demonstran. Surat terserbut ditujukan langsung kepada Kapolri Jenderal Polisi, Listyo Sigit Prabowo.

SPK merupakan lembaga yang terdiri dari dosen dan tenaga kependidikan di seluruh Indonesia menyampaikan keberatan terhadap tindakan yang dilakukan kepolisian. Demonstrasi yang berlangsung sejak tanggal 25-31 Agustus 2025 berakhir dengan penangkapan sejumlah peserta aksi di berbagai wilayah di Indonesia.

Ketua Umum Serikat Pekerja Kampus, Dhia Al Uyun, mengungkapkan dalam laporan Narasi, setidaknya 959 orang dari beberapa wilayah di Indonesia telah ditetapkan sebagai tersangka terkait demonstrasi. Tim Advokasi untuk Demokrasi mencatat berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh aparat kepolisian.

Mulai dari prosedur penangkapan, penyitaan hingga akses bantuan hukum sampai dengan penanganan tahanan. Kata dia, Polri telah memiliki koridor yang jelas dalam penanganan aksi demonstrasi melalui Peraturan Kepala Kepolisian RI (Perkapolri) No. 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.

“Namun peraturan ini diabaikan dengan berbagai penangkapan tanpa alat bukti yang sah, menghalangi kuasa hukum untuk mendampingi, menyembunyikan identitas yang ditangkap dan sebagainya yang tidak menunjukkan tindakan profesional penegak hukum,” ujar Dhia Al Uyun dalam surat resmi, Rabu (1/10/2025).

Dhia juga menyoroti pelbagai pelanggaran HAM yang dilakukan kepolisian dalam menangani demonstrasi, termasuk penangkapan ratusan massa aksi justru menampakkan langkah kontraproduktif dari upaya melakukan akselerasi reformasi Polri.

Kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah justru direspons dengan brutalitas Polri. Sebagai alat negara, penanganan aksi yang brutal dan penangkapan membabi buta menandakan ketidakseriusan Polri dalam mereformasi dirinya.

“Pembentukan tim transformasi reformasi Polri yang juga melibatkan sejumlah ahli dari berbagai perguruan tinggi hanya menjadi langkah basa basi belaka,” jelasnya.

Barisan intelektual kampus yang bergabung dalam tim reformasi ini, hanya akan menjadi ”stempel kekuasaan”, yang menjadi corong pembersih tangan kotor kekuasaan. Ini yang disebut juga sebagai ”wastafel kekuasaan”, yakni mereka yang secara membabi buta mengambil langkah untuk menyelamatkan apa pun tindakan kekuasaan kendatipun keliru dan menyesatkan.

“Serikat Pekerja Kampus dengan 1600 anggotanya seluruh Indonesia, menyatakan keberatan atas penangkapan demonstran yang telah dilakukan Polri di berbagai daerah,” tegas Dhia Al Uyun.

Lebih lanjut, jika Polri benar-benar serius untuk melakukan reformasi, mulailah dengan membebaskan massa aksi yang ditangkap secara membabi buta. Polri selayaknya mengevaluasi diri bukan malah mengkriminalisasi demonstran.

Ia menekankan, perlunya pemahaman bahwa kriminalisasi ini akan menambah untrust masyarakat pada keseriusan Polri dan jajarannya untuk melakukan perbaikan dan menjadi sahabat masyarakat.

“Semoga hal ini dapat menjadi pertimbangan, reformasi Polri tanpa pembebasan demonstran adalah sia-sia belaka,” pungkasnya. (*Rn).